JMDN logo

Pembangunan Desa Berkelanjutan dan Inklusif melalui Data Desa Presisi

📍 Desa
19 Agustus 2025
89 views
Pembangunan Desa Berkelanjutan dan Inklusif melalui Data Desa Presisi

Jakarta, 19/8 (ANTARA) - Aspek data menjadi persoalan yang krusial dalam pembangunan. Data menjadi pilar utama agar pembangunan yang dilakukan berbasiskan pada kebutuhan masyarakat, serta mampu meningkatkan efisiensi sumber daya dan meminimalkan risiko kegagalan.


Pembangunan tanpa data yang tepat hanya akan melahirkan kesenjangan. Ibarat layangan putus, pembangunan akan kehilangan arah. Pembangunan tanpa data hanya akan menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan dan bukan pelaku. Impian pembangunan ibarat jauh panggang dari api.


Menyadari pentingnya data dalam pembangunan, Kepala Desa Setu, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Esa Asmarini, melirik inovasi Data Desa Presisi (DPP) yang diinisiasi oleh Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University Prof Sofyan Sjaf.


"Sebetulnya dari program pemerintah ada data yang dilakukan melalui sensus, tapi kami tidak mendapatkan hasil akhirnya. Kami tidak pernah mendapatkan data-data tersebut. Padahal data-data itu diperlukan untuk pembangunan di desa kami," kata Esa, yang sudah menjabat sebagai kepala desa sejak 2014 itu, ketika berbincang dengan ANTARA.


Akibatnya perencanaan pembangunan pun dilakukan tidak berbasiskan data yang ada. Esa memprediksi persoalan itu tak hanya terjadi di desanya, namun terjadi di desa-desa yang ada di seluruh Tanah Air.


Dengan adanya data yang presisi dan riil, dirinya dan perangkat desa tidak lagi mengira-ngira, seperti apa perencanaan pembangunan ke depan. Ia mendapatkan gambaran yang tepat bagaimana kondisi desa yang dipimpinnya itu. Pengambilan data dilakukan sejak Juni 2025. Harapannya tentu saja dapat melakukan pembangunan berbasiskan kebutuhan masyarakat, inklusif dan berkelanjutan.


Lalu, seperti apa sebenarnya DDP itu? DDP merupakan data yang memiliki tingkat akurasi dan ketepatan tinggi untuk menyajikan kondisi aktual desa. Data itu diambil, diverifikasi, dan divalidasi oleh warga desa yang dibantu oleh pihak luar, seperti perguruan tinggi.


Gagasan DDP berawal dari kontemplasi panjang seorang Sofyan Sjaf, sosiolog perdesaan yang berasal dari IPB University. Pada 2006, saat itu ,pria kelahiran Kendari itu menjadi asisten Prof Lala Kolopaking. Sofyan muda diminta berangkat ke Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, untuk memotret potensi ekonomi di desa tersebut. Lawatan itu merupakan bagian dari pembentukan bab sembilan Undang-undang (UU) Desa yang saat itu masih dalam bentuk rancangan.


Langkah itu perlu dilakukan, mengingat ekonomi desa tidak bisa bergerak sendiri. Perlu adanya kerja sama antardesa. Sofyan diminta untuk menghitung itu dan melihat aspek dinamika sosial dan potensi desanya.


"Biasanya data diambil dari data potensi desa, kemudian informasi dari jaringan pegiat desa yang sumbernya berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Saya olah, kemudian dibawa ke lapangan dan hasilnya beda banget (dengan yang didapat sebelumnya), prioritasnya," kenang Dekan FEMA IPB University dan peraih dosen IPB University dengan kinerja pengabdian kepada masyarakat terbaik pada 2022 itu.


Dari situ, ia mulai tergugah untuk menghadirkan data yang presisi. Presisi memiliki definisi yang berbeda dengan akurat. Meski kerap disandingkan, presisi memiliki pengertian ketepatan atau ketelitian dari suatu pengukuran. Meskipun telah berulang kali dilakukan pengukuran, hasilnya tetap sama.


Sebagai akademisi, ia juga menemukan data yang berbeda di lapangan dan di atas kertas. Apalagi dengan kehadiran UU 6/2014 tentang Desa menjadi momentum penting karena diakuinya hak rekognisi dan subsidiaritas.


Momentum itu dia gunakan untuk membuktikan akurasi data yang ada, yang selama ini disajikan dalam pendataan potensi desa (PODES) itu. Dia yakin, selama ini data dari PODES itu respondennya kepala desa atau sekretaris desa, yang meminta data ke RT/RW. Pola itu, metodenya juga kurang jelas dan pasti banyak salahnya.


Sayangnya saat itu, ia masih kebingungan bagaimana metodologi pengumpulan data agar bisa menghasilkan data yang presisi. Beruntung temannya sesama aktivis 1998 pulang dari Jerman, dan melakukan penelitian tentang kerusakan ekologi akibat tambang. Dari situ, ia mengenal teknologi drone yang dapat digunakan untuk pemotretan wilayah. Pada masa itu, sulit untuk mendapatkan peta geospasial.


Berawal teknologi drone sederhana rancangan mahasiswa, ia gunakan untuk mendapatkan citra wilayah desa. Percobaan dilakukan di Desa Sukadamai, Bogor, yang berada tidak jauh dari kampus IPB. Tidak hanya mendapatkan gambaran lanskap desa, Sofyan juga melakukan penelitian dengan subjek atau masyarakat. Ia kemudian melakukan sensus secara manual, dibantu para pemuda di desa itu.


Apa yang terjadi? Dia menemukan sebanyak 47,13 persen data PODES itu error. Itu terjadi di Sukadamai, yang berada tidak jauh dari ibu kota, yang dekat dengan kekuasaan dan kampus.


Bisa dikatakan, selama ini data kurang mendapatkan perhatian dalam perencanaan pembangunan. Imbasnya, tentu saja hasil pembangunan pun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


Kini, metodologi DDP dengan menggunakan teknologi drone untuk mendapatkan data spasial (demografi, infrastruktur, pertanian, pendidikan, fasilitas umum, kesehatan, lingkungan, dan lainnya), sensus digital melibatkan masyarakat dengan "Merdesa Apps" untuk mendapatkan data sosial, dan instrumen participatory rural appraisal (PRA) untuk mendapatkan data kualitatif.


Uniknya, para enumerator tidak akan bisa mengisi data, tanpa turun ke lapangan. Pengisian data hanya bisa dilakukan, saat berada di lokasi, dengan toleransi jarak radius 100 meter dari lokasi objek. Validasi juga dibuktikan dengan foto objek. Dengan demikian, ketepatan data tidak diragukan lagi.


Seluruh data yang ada, memungkinkan desa memiliki data aktual by name, by address dan by coordinate.


Manfaatkan akal imitasi


Data spasial dari pesawat nirawak dan data numerik itu kemudian masuk ke dalam big data desa, yang dapat diolah dan dianalisis dengan teknologi kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI).


Untuk keluaran dari DDP itu, disesuaikan dengan kebutuhan desa, mulai data daya dukung desa, potensi ekonomi desa, proyeksi demografi, analisis kemiskinan, hingga pembangunan dan perencanaan investasi di desa.


Luaran sosial DDP mencakup identitas keluarga, pendidikan dan kebudayaan, infrastruktur dan lingkungan hidup, sandang, pangan dan papan, pekerjaan, kesehatan, dan jaminan sosial, serta kehidupan sosial, hukum dan HAM.


Sementara luaran spasial DDP adalah peta orthopoto (citra foto), peta administratif, peta infrastruktur, peta topografi, dan peta tematik. Setiap desa akan memiliki akun Webgis.


DDP ini dapat menghasilkan data yang dapat dianalisis menjadi berbagai macam perhitungan atau indeks, seperti SDG's, indeks pembangunan manusia (IPM), potensi stunting, potensi pajak kendaraan, cadangan karbon, indeks pembangunan pemuda, maupun analisis lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan desa.


Peraih penghargaan kategori Community Based Development PR Indonesia Awards 2022 itu menjelaskan penerapan DDP telah dan akan dilakukan di 1.239 desa/kelurahan yang terdapat di 38 kabupaten/kota di 16 provinsi. Pada 2025, Sofyan menargetkan pengambilan daya di kurang lebih 1.000 desa yang tersebar di Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Maluku.


Kehadiran DDP ini dapat mengakhiri polemik data dan dapat dimanfaatkan sebagai basis perencanaan dan pembangunan yang tepat sasaran. Pembangunan partisipatif dan inklusif yang melibatkan masyarakat dapat terwujud, sehingga cita-cita kemerdekaan, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dapat terwujud. (ANTARA/Indriani)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer